Oleh: Nuraeni, Adi Putra Setianto, Rizqi Irma Oktavi, Yuni Ira Mulia Sari, Annisa Dwi Agustina

Saat ini masalah lingkungan sedang marak dibicarakan di seluruh dunia. Bencana alam yang sering terjadi merupakan dampak dari global warming. Masyarakat dunia mulai peduli terhadap Iingkungan dan berbagai cara mereka lakukan untuk memperbaiki kerusakan alam. Puncaknya, ditandatangani Protokol Kyoto oleh beberapa negara di dunia pada 1997, sebuah amandemen terhadap konvensi rangka kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC). Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran CO2 dan lima gas rumah kaca lainnya.

Lantas apa hubungannya dengan akuntansi karbon? Akuntansi karbon adalah proses perhitungan banyaknya karbon yang dkeluarkan proses industri, penetapan target pengurangan, pembentukan sistem dan program untuk mengurangi emisi karbon, dan pelaporan perkembangan program tersebut.

Keberadaan akuntansi karbon membantu perusahaan mengetahui tingkat emisi karbon yang dihasilkannya dari hasil pengukuran. Melalui akuntansi karbon juga, manajemen perusahaan dapat menetapkan strategi untuk mengurangi emisi tersebut dan melaporkannya pada stakeholders.

Akuntansi karbon merupakan bagian baru dari akuntansi lingkungan yang merupakan pelengkap dengan memberikan laporan mengenai emisi karbon gas yang dihasilkan perusahaan selama proses produksi. Akuntansi karbon ini adalah suatu kebutuhan yang penting bagi perusahaan karena kepedulian perusahaan terhadap lingkungan tergolong sangat minim untuk saat ini.

Indonesia sendiri sudah meratifikasi Protokol Kyoto melalui pengesahan UU No 17 tahun 2004,  pada 28 Juli 2004. Sayangnya, pemerintah belum mengimplementasikan akuntansi karbon ke setiap perusahaan yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan hukum dan SDM di Indonesia yang tergolong rendah. Selain itu, Indonesia juga bekerja sama dengan Australia dan Cina dalam perdagangan karbon.

Perdagangan karbon (emission trading) adalah salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto. Model perdagangan ini dapat digambarkan demikian:

  1. Perusahan-perusahaan awalnya melakukan kesepakatan (melalui regulasi pemerintah) tentang seberapa besar CO2 yang akan dihasilkn oleh produksi mereka.
  2. Jika perusahaan tertentu dalam memproduksi barang/jasa menghasilkan emisi CO2 kurang dari batas maksimal, mereka memiliki nilai kredit.
  3. Sebaliknya, jika perusahaan tertentu melebihi ambang batas emisi CO2, maka mereka dapat mmbeli kredit dari prusahaan yang memiliki emisi di bawah ambang batas.

Implikasi dari perdagangan karbon ini adalah munculnya manajemen biaya karbon, di mana ini merupakan efisiensi emisi CO2 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya OH pabrik, biaya OH lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan manajemen standar akuntansi karbon. Pada akhirnya, implikasi dari carbon cost management ini adalah akuntansi karbon.

Ada beberapa langkah pengimplementasian akuntansi karbon dalam perusahaan yang disampaikan oleh Warren (2008), yaitu:

  • Mengukur emisi karbon perusahaan saat ini;
  • Menentukan target pengurangan emisi;
  • Membangun sistem untuk memantau emisi yang dkeluarkan dan mengadakan audit emisi secara periodik; serta
  • Melaporkan baik internal maupun eksternal mengenai program pengurangan dan kemajuan dalam mencapai target.

Perusahaan dapat menggabungkan pelaporan akuntansi karbon mereka dengan environmental accounting reporting. Dalam pelaporan akuntansi karbon, ada empat kategori biaya yang bisa dimasukkan, yaitu:

  1. Biaya pencegahan: untuk mencegah terjadinya polusi udara.
  2. Biaya pendeteksian: untuk menemukan, mengurangi, dan mendeteksi banyaknya polusi udara yang dikeluarkan.
  3. Biaya kegagalan internal: dikeluarkan jika polusi udara prusahaan melebihi batas, tapi belum memberi dampak secara eksternal.
  4. Biaya kegagalan ekstern: dikeluarkan jika polusi telah berdampak secara luas terhadap masyarakat sekitar, lingkungan dan lain-lain.

Pelaporan akuntansi karbon ini bisa dimasukkan sebagai voluntary disclosure perusahaan dan menjadi bagian dalam CSR perusahaan.  Melalui pelaporan ini, stakeholder dapat menilai peran serta perusahaan dalam mengurangi GRK (Gas Rumah Kaca). Akuntansi karbon  juga sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Bagi perusahaan, penerapan akuntansi karbon akan memberikan pandangan positif stakeholder, yang kemudian akan mendatangkan manfaat ekonomis. Bagi pemerintah Indonesia, akuntansi karbon bisa mendorong jalannya kerjasama dengan negara maju terkait Reducing Emissions from Deforestation & forest Degradation (REDD). Dengan begitu, Indonesia bisa mmproleh dana yang dapat digunakan untuk mmulihkan hutan-hutan.

Kesehatan masyarakat di sekitar industri juga akan membaik. Penerapan  akuntansi karbon  juga bisa mengurangi potensi bencana alam. Masyarakat juga diuntungkan dengan pembangunan sarana dan prasarana baru melalui kucuran dana dari hasil kemitraan REDD. Selain itu, akan muncul lapangan pekerjaan baru yang menunjang penerapan  akuntansi karbon  di suatu negara.

Penyunting Tulisan: Malinda Sari Sembiring